ABSTRAKSI
Kota yang selalu berkembang baik secara alamiah maupun melalui proses
perencanaan dan perancangan, dihadapkan pada permasalahan tidak tercapainya
kondisi "ideal” akan tuntuntan kebutuhan tujuan pembangunan tersebut. Oleh
karena itu, pembangunan menjadi hal yang sangat menentukan dalam
keberhasilan/kegagalan "intervensi fisik” pembangunan kota.
Terdapat pengecualian prosedur melalui mekanisme BKPRD (Badan Koordinasi
Penataan Ruang Daerah) yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah. Namun
penerbitan IMB yang tidak sesuai dengan RTRW ternyata tidak hanya berasal
dari pengajuan permohonan BKPRD saja, tetapi juga ada yang melalui cara
lain, yaitu melalui jalur cepat dengan memberikan uang terimakasih maupun
sejenisnya.
Kata-kunci
: IMB, tata ruang.
PENDAHULUAN
Izin Mendirikan Bangunan atau biasa dikenal dengan IMB
adalah perizinan yang diberikan oleh Kepala Daerah kepada pemilik bangunan
untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat
bangunan sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis
yang berlaku. IMB merupakan salah satu produk hukum untuk mewujudkan
tatanan tertentu sehingga tercipta ketertiban, keamanan, keselamatan,
kenyamanan, sekaligus kepastian hukum.
Tata ruang atau dalam bahasa Inggrisnya spatial plan adalah wujud
struktur ruang dan pola ruang disusun secara nasional, regional dan lokal.
Secara nasional disebut Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, yang
dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) tersebut perlu dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota (RTRWK).
Fungsi bangunan sebagai tempat aktvitas manusia, mulai dari aktivitas
perekonomian, kebudayaan, sosial, dan pendidikan terkait dengan fungsi
pemerintah daerah sebagai “ Agent of Development, Agent of Change, Agent of Regulation”.
Bangunan gedung merupakan salah satu bentuk fisik pemanfaatan ruang. Oleh
karena itu, dalam pengaturan bangunan gedung tetap mengacu pada peraturan
penataan ruang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
HUKUM PRANATA PEMBANGUNAN
PENERBITAN IMB YANG MELANGGAR TATA RUANG
(Kajian Tentang Implementasi Perda RTRW Kota Malang Terhadap Penerbitan
IMB yang Melanggar Tata Ruang)
Tanah merupakan bahan primer bagi berlangsungnya suatu pembangunan. Di mana
pembangunan sebagai suatu upaya untuk menciptakan atau mengembangkan
wilayah menjadi lingkungan yang nyaman, baik untuk kepentingan ekonomi,
sosial-budaya (tempat hidup komunitas kota). Kota yang selalu berkembang
baik secara alamiah maupun melalui proses perencanaan dan perancangan,
dihadapkan pada permasalahan tidak tercapainya kondisi "ideal” akan
tuntuntan kebutuhan tujuan pembangunan tersebut. Ada tiga orientasi
pembangunan yang seharusnya diperhatikan dalam melakukan proses
pembangunan, yakni; orientasi pada pengembangan fisik (development
orientation); orientasi pada komunitas (community orientation) dan
orientasi pada konservasi (conservation orientation). Oleh karena itu,
pembangunan menjadi hal yang sangat menentukan dalam keberhasilan/kegagalan
"intervensi fisik” pembangunan kota.
Seperti halnya pembangunan yang dilakukan secara terus-menerus di Kota
Malang, Jawa Timur. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya bangunan seperti
mall, ruko, perumahan dan lain-lain. Salah satu contohnya yaitu pembangunan
apartemen pertama di Kota Malang yang terletak di Jalan Soekarno Hatta No.2
Malang, tepatnya di tepi jembatan Soekarno Hatta, di tepi sungai Brantas
dan berhadapan dengan Politeknik Negeri Malang. Softlaunching apartement
ini di lakukan pada 9 Desember 2009 padahal IMB dikeluarkan pada Juni 2010.
Pembangunan apartement tersebut menimbulkan banyak dampak negatif, selain
mengurangi Lahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) pembangunan apartment tersebut
seharusnya tidak boleh dilakukan lantaran lokasinya yang berada di
tepi/sempadan sungai.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Malang terkait pemberian
izin berdirinya apartemen menimbulkan banyak permasalahan, baik
permasalahan hukum, permasalahan lingkungan dan permasalahan sosial. Lokasi
berdirinya apartemen yang terletak di tepi/sempadan Sungai Brantas
menjadikan pertanyaan oleh banyak kalangan. Berdasarkan Rencana Tata Ruang
dan Wilayah (RTRW) Kota Malang, lokasi berdirinya apartemen yang dibangun
di wilayah kecamatan Lowokwaru tersebut tidak sesuai.
Pada saat awal didirikannya apartemen, terjadi pelanggaran yang dimana pada
saat itu masih berlaku Perda Nomor 7 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kota Malang tahun 2001-2011.
Pada proses perizinan dan penetapan kebijakan terkait pembangunan
apartement terlihat seolah-olah bahwa terdapat transaksi politik dan
ekonomi antara pihak yaitu pihak pengembang/pengelola apartement dengan
Pemerintah Kota Malang yang pada akhirnya dapat menguntungkan kedua belah
pihak dengan melanggar hukum serta menimbulkan dampak negative terhadap
kehidupan sosial masyarakat dan lingkungan hidup Kota Malang.
Selain apartemen, masih ada bangunan-bangunan seperti Malang Town Square
(Matos), Rumah Sakit Akademi Universitas Brawijaya (RSAUB) dan Ijen Nirwana
Residence yang melanggar Perda Nomor 7 Tahun 2001 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Kota Malang. Kini Kota Malang menggunakan Perda Nomor
4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang untuk mengatur
tata ruang Kota Malang. Walaupun dengan adanya Perda baru terkait penataan
ruang Kota Malang, tidak ada jaminan bahwa tidak terjadi pelanggaran
terkait penataan ruang dan fungsi lahan, yaitu dimana tidak ada kesesuaian
dan sinkronisasi antara fakta di lapangan dengan apa yang direncanakan di
dalam Perda Nomor 4 Tahun 2011.
Tidak hanya itu, terdapat kejanggalan terkait terbentuknya Perda Nomor 4
Tahun 2011. Salah satu contoh adalah Perda yang diundangkan pada tanggal 7
Maret 2011 terlihat melunak dan menyesuaikan atas pelanggaranpelanggaran
yang terjadi pada saat berlakunya Perda Nomor 7 Tahun 2001. Dari sini kita
bisa menilai bahwa sifat tegas, mengikat dan memaksa dari sebuah peraturan
daerah tidak terlihat sama sekali. Padahal, terdapat banyak sekali
bangunan-bangunan di Kota Malang yang melanggar atau tidak sesuai dari segi
penataan ruang dan dari segi perubahan perencanaan tata ruang yang
dituangkan di dalam perda. Padahal sudah jelas bahwa pelanggaran di dalam
penataan ruang memiliki dampak negatif bagi aspek lingkungan,
sosial-budaya, ekonomi dan lain-lain. Namun entah dari dan bagaimana
bangunan-bangunan yang melanggar tata ruang tersebut mendapatkan IMB atau
dapat berdiri dengan kokoh sekarang ini.
Menurut Pasal 73 ayat (9) Perda Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Malang dinyatakan : “Izin pemanfaatan ruang yang tidak
sesuai lagi akibat adanya perubahan rencana tata ruang wilayah dapat
dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan memberikan ganti
kerugian yang layak.” Sanksi-sanksi yang diancamkan pun baik sanksi
administrasi maupun pidana seolah-olah hanya berupa ancaman yang tidak ada
realisasinya. Hal tersebut dapat terlihat bahwa banyak bangunan yang
melanggar Perda Nomor 7 Tahun 2001 tentang RTRW yang berlaku pada saat itu
berdiri atau mendapatkan IMB.
Dengan kata lain, baik Perda Nomor 1 Tahun 2001 maupun Perda Nomor 4 Tahun
2011 seolah- olah hanya sebagai formalitas tertulis saja yang tidak begitu
dipedulikan eksistensinya. Walaupun dengan dikeluarkannya Perda Nomor 4
Tahun 2011, masih belum terlihat upaya-upaya dan keseriusan dari pemerintah
untuk menerapkan perda tersebut dengan baik.
Perbandingan antara kondisi dan keadaan Kota Malang secara fakta dengan
kedua pasal di atas, maka dapat dilihat bahwa kondisi dan keadaan Kota
Malang masih jauh dari harapan, yaitu sesuai dengan visi dan fungsi
penataan ruang Kota Malang menurut Perda Nomor 4 Tahun 2011. Walaupun
terkesan masih terlau dini untuk membicarakan tentang efektivitas Perda
tersebut lantaran masih terbilang baru dan masa berlakunya masih panjang
yaitu mulai dari tahun 2010-2030, namun tanda-tanda keseriusan dari
pemerintah untuk mengoptimalisasikan Perda Nomor 4 Tahun 2011 belum tampak
di sini.
Visi dan fungsi penataan ruang Kota Malang di atas tidak akan terlaksana
dengan baik apabila masih banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran penataan
ruang yang terjadi di Kota Malang. Terlabih lagi pelanggaran penataan ruang
terkait pemberian izin mendirikan bangunan (IMB) yang sangat banyak terjadi
di Kota Malang.
Jadi, setiap subjek hukum baik orang maupun badan hukum perdata tidak
diperkanan atau diberi izin untuk mendirikan bangunan atau menggunakan
tanahnya jika tidak sesuai dengan apa yang telah ditentukan peruntukannya
dalam rencana tata ruang. Namun fakta yang ada di Kota Malang adalah masih
ada orang ataupun badan hokum perdata memperoleh izin mendirikan bangunan
(IMB) atau memiliki bangunan, tetapi melanggar Perda kota Malang Nomor 4
Tahun 2011 tentang RTRW.
Rencana Tata Ruang Wilayah
Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang
dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.
Undang – Undang no.24 Tahun 1992, mengatur tentang tentang penataan ruang
untuk mewujudkan pola struktural dan pola pemanfaatan ruang dengan cara
perencanaan yang matang. Dengan tujuan pemanfaatan secara terpadu dan
berkelanjutan. Undang – undang ini juga memberikan hak dalam mengelola
sebuah ruang dan mendapatkan penggantian akibat dari pelaksanaan kegiatan
pembangunan. Penataan ruang juga di atur dalam setiap peraturan daerah yang
tercermin ditata kota. Kesimpulan dari Undang – undang no.24 tahun 1992:
Rencana tata ruang wilayah harus memperhatikan:
a. perkembangan lingkungan strategis (global, regional, nasional);
b. upaya pemerataan pembangunan;
c. keselarasan pembangunan nasional dan daerah;
d. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
e. rencana tata ruang yang terkait dengan wilayah perencanaan (rencana tata
ruang
Terkait dengan lingkungan hidup:
a. ketentuan agar alokasi kawasan hutan dalam satu daerah aliran sungai
(DAS) sekurang-kurangnya 30% (tigapuluh persen) dari luas DAS dengan
distribusi disesuaikan dengan kondisi ekosistem DAS;
b. ketentuan agar alokasi ruang terbuka hijau (RTH) di kawasan perkotaan
sekurangkurangnya 30% (tigapuluh persen) dari luas kawasan perkotaan, di
mana 2/3nya adalah RTH publik dengan distribusi disesuaikan dengan sebaran
penduduk.
Hak-hak masyarakat dalam tata ruang adalah:
a. hak untuk mengetahui rencana tata ruang
b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat dari penataan ruang;
c. menerima penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat
pelaksanaan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;
d. mengajukan keberatan kepada pejabat yang berwenang terhadap pembangunan
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya;
e. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang
tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat yang berwenang; dan
f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang
izin apabila pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang
menimbulkan kerugian.
Kewajiban masyarakat dalam tata ruang:
a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat
yang
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan
perundangundangan dinyatakan sebagia milik umum.
Izin Mendirikan Bangunan ( IMB )
Izin adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau
peraturan pemerintah untuk dakam keadaan tertentu menyimpang dari
ketentuan-ketentuan larangan peraturan perundangundangan. Izin Mendirikan
Bangunan Gedung (IMB) adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Kota
kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas,
mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan
administratif dan persyaratan teknis.
Dasar Hukum IMB
1. Perda Tingkat I Bali No. 2/3/4/PD/DPRD/1974, tentang : Tata ruang untuk
Pembangunan Propinsi Daerah Tingkat I Bali.
2. Perda Tingkat II Badung No. 6 Tahun 1977 tentang Uang Ijin Bangun
bangunan.
3. Perda Tingkat II Badung No. 3 Tahun 1992, tentang : Larangan mendirikan
Bangun-bangunan di daerah Jalur Hijau.
4. SK. Bupati Tingkat II Badung No. 1094 A Tentang Garis Sempadan Bangunan.
5. Perda Tingkat I Bali No. 4 Tahun 1966 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Propinsi Tingkat I Bali.
Kegunaan Memiliki IMB
1. Tata letak ruang, tata tetak bangunan dan tata lingkungan menjadi
teratur dan tertata sesuai dengan ketentuan teknis tata ruang dan tata
bangunan sehingga sangat bermanfaat bagi tata lingkungan kehidupan manusia
dan alam.
2. Melestarikan Budaya Arsitektur Tradisional Bali.
3. Memiliki kepastian Hukum terhadap bangunan yang dimiliki.
4. Dapat memudahkan dalam pengurusan : Kredit Bank, Ijin Usaha dan dapat
meyakinkan pihak-pihak yang memerlukan dalam transaksi jualbeli,
sewa-menyewa, dll.
5. Menunjang kelangsungan pembangunan Daerah melalui peningkatan Pendapatan
Asli Daerah (PAD).
Persyaratan Umum Memohon IMB
Mengisi formulir permohonan IMB yang telah disiapkan dengan kelengkapan
sebagai berikut :
1. Foto Copy KTP.
2. Foto Copy sertifikat/akte jual beli/surat keterangan tanah yang sah
sesuai ketentuan.
3. Foto Copy pembayaran Pajak PBB terakhir.
4. Surat keterangan penyanding (bila perlu).
5. Gambar rencana bangunan antara lain :
- Gambar situasi
- Gambar rencana tapak
- Gambar rencana denah
- Gambar rencana tampak ( depan, samping )
- Gambar potongan ( memanjang, memendek )
- Gambar struktur/pembesian ( khusus untuk bangunan bertingkat )
6. Permohonan IMB dimasukkan dalam Map berwarna dalam rangkap 2 (dua).
PROSES MEMPEROLEH IMB
1. Permohonan IMB yang sudah lengkap dan benar diterima petugas pada meja
pelayanan IMB Dinas Cipta Karya Kabupaten Badung, diserahkan pada petugas
pada meja pelayanan IMB.
2. Berkas permohonan IMB yang benar akan dihitung biaya IMB-nya dan
diperiksa kelapangan oleh petugas bersama pemilik sesuai dengan jadwal.
3. Setelah Pemeriksaan Lapangan, Permohonan tersebut dapat diproses, bila
telah memenuhi syarat-syarat teknis.
4. Waktu penyelesaian IMB adalah 2 s/d 4 hari sejak pelunasan biaya IMB.
Penyebab terjadinya penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) walaupun
melanggar tata ruang
Pengendalian dan pemanfaatan tata ruang di Kota Malang mengacu pada
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang kemudian
dikhususkan lagi melalui Perda Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Malang. Orang yang ingin memanfaatkan suatu lahan atau
ruang yang ada di Kota Malang harus mengacu pada Perda Nomor 4 Tahun 2011,
di mana harus menyesuaikan dengan peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kota Malang yang sudah ditetapkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(BAPPEDA). Setelah mengetahui peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota
Malang, kemudian mengajukan rencana pembangunan atau pemanfaatan ruang di
Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kota Malang untuk memperoleh Advice Planning
(AP). Jika seseorang telah memperoleh Advice Planning (AP) yang dikeluarkan
oleh DPU Kota Malang, maka orang tersebut harus memperoleh Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) terlebih dahulu di Badan Pelayanan dan Perizinan Terpadu
(BP2T) Kota Malang sebelum melakukan pemanfaatan atau pembangunan di Kota
Malang.
Demikian adalah prosedur yang harus di tempuh jika terdapat subyek hukum
yang ingin melakukan pembangunan atau pemanfaatan di suatu lahan. Jika ada
pemohon yang tidak mematuhi Perda Nomor 4 Tahun 2011 dan prosedur yang
sesuai, di mana Ia ingin melakukan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai
dengan RTRW Kota Malang, maka DPU Kota Malang dan BP2T Kota Malang wajib
menolak permohonan tersebut. Akan tetapi, jika masih tetap terjadi
penyalahgunaan atau pelanggaran tata ruang maka dapat diancam sanksi pidana
terhadap pihak-pihak yang terkait.
Prosedur pemanfaatan ruang serta sanksi pidana yang diancamkan seolah-olah
tidak berlaku di Kota Malang. Karena masih banyak bangunanbangunan di Kota
Malang yang lokasinya tidak sesuai dengan RTRW Kota Malang (2010-2030)
namun memiliki IMB. Dengan banyaknya bangunan yang lokasinya tidak sesuai
dengan RTRW Kota Malang namun memiliki IMB, maka akan banyak menimbulkan
dampak negatif dari segi ekonomi, sosial, terutama dari segi lingkungan.
Akan tetapi ada pengecualian melalui mekanisme BKPRD (Badan Koordinasi
Penataan Ruang Daerah). BKPRD diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah.
Menurut Permendagri Nomor 50 Tahun 2009, dijelaskan bahwa Badan Koordinasi
Penataan Ruang Daerah, yang selanjutnya disebut BKPRD adalah badan bersifat
ad-hoc yang dibentuk untuk mendukung pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Provinsi dan di Kabupaten/Kota dan
mempunyai fungsi membantu pelaksanaan tugas Gubernur dan Bupati/Walikota
dalam koordinasi penataan ruang di daerah. Atau dengan kata lain, BKPRD
adalah suatu bentuk tim koordinasi bidang penataan ruang dalam rangka
menjamin tercapainya tujuan koordinasi penataan ruang yang efektif dan
meningkatan peran Pemerintah memfasilitasi Pemerintah Provinsi dalam
mengkoordinasikan penataan ruang di daerahnya, terutama untuk pengendalian
pemanfaatan ruang.
Susunan keanggotaan BKPRD Provinsi, terdiri atas:
a. Penanggung jawab: Gubernur dan Wakil Gubernur;
b. Ketua : Sekretaris Daerah Provinsi;
c. Sekretaris : Kepala Bappeda Provinsi;
d. Anggota : SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) terkait Penataan ruang
yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan daerah.
Dalam hal penerbitan IMB yang melanggar tata ruang, menurut pasal 4 ayat
(1) Permendagri Nomor 50 Tahun 2009, salah satu tugas BKPRD adalah
mengoordinasikan penanganan dan penyelesaian permasalahan dalam pemanfaatan
ruang baik di provinsi maupun di kabupaten/kota, dan memberikan pengarahan
serta saran pemecahannya. Jadi, dalam hal ini BKPRD dapat dijadikan suatu
pertimbangan dan pengecualian bagi bangunan yang peruntukannya tidak sesuai
dengan RTRW yang ada. Sehingga terbitlah IMB terhadap suatu bangunan
walaupun tudak sesuaidengan RTRW yang ada.
Mekanisme BKPRD seperti yang di atas bisa terlaksana apabila ada pengajuan
dan permohonan dari pemilik tanah atau bangunan tersebut. Terlaksananya
rapat BKPRD yang terdiri dari suatu tim yang berasal dari SKPD terkait,
Akademisi, DPRD Kota Malang dan lain-lain, bukan berarti pengajuan dan
permohonan pasti dikabulkan.12 Lanjut Waskito :
Penerbitan IMB yang tidak sesuai dengan RTRW ternyata tidak hanya berasal
dari pengajuan permohonan BKPRD saja, tetapi juga ada yang melalui cara
lain, yaitu melalui jalur cepat dengan memberikan uang terimakasih maupun
sejenisnya. Syarat-syarat yang tidak mencukupi membuat subyek hukum
memaksakan persetujuan izin melalui berbagai cara, dan salah satunya adalah
dengan cara pemberian uang terimakasih atau suap. Investor dan pengusaha
akan melakukan berbagai macam cara demi memuluskan langkah perizinan di
dalam investasinya, termasuk dengan melakukan aksi suapmenyuap. Aksi
tersebut ditempuh jika dalam syarat yang diajukan ada yang tidak terpenuhi.
Seperti lokasi berada di daerah yang tidak seharusnya mendirikan bangunan
tersebut atau dengan kata lain lokasinya melanggar tata ruang.
Hampir disetiap Pemerintahan Kota terdapat oknum-oknum jahil, termasuk
dalam hal ini adalah oknum-oknum dari SKPD terkait yang menerima uang
terimakasih dari investor atau pengusaha. Tidak hanya menerima, bahkan
terkadang oknum yang memiliki status sebagai PNS tersebut malah meminta
kepada investor atau pengusaha dengan dalih akan memperlancar dan
mempercepat proses perizinan yang diajukan.
Secara aturan, pemberian biaya untuk alasan apa pun yang tidak dibenarkan,
dan merupakan suatu pelanggaran. Pemberian uang yang dilakukan oleh
investor atau pengusaha kepada oknum-oknum SKPD terkait demi memperlancar
proses penerbitan IMB dengan melanggar RTRW merupakan suatu tindak pidana
yang melanggar Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Penegakan Hukum Terhadap Penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang
Melanggar Tata Ruang
Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan
hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidahkaidah/ pandangan
nilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian
penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, da
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Sedangkan menurut Satjipto
Rahardjo, penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan ide-ide atau
konsep-konsep tentang keadian, kebenaran, kemanfaatan sosial, dan
sebagainya. Jadi penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide dan
konsepkonsep tersebut menjadi kenyataan. Seperti halnya penegakan hukum
terhadap penerbitan izin mendirikan bangunan yang melanggar tata ruang.
Dengan tujuan supaya Kota Malang menjadi kota yang sehat dan ramah
lingkungan, maka perlu adanya penegakan hukum yang tegas terkait
pelanggaran tata ruang tersebut. Sedangkan di Kota Malang ada beberapa
bangunan yang melanggar tata ruang namun tidak ada upaya penegakan hukum
yang dikenakan terhadap bangunan-bangunan tersebut.
Bangunan-bangunan yang dimaksud antara lain :
1. Malang Town Square (Matos)
Merupakan salah satu pusat perbelanjaan di Kota Malang yang berdiri pada
tahun 2005. Bangunan tersebut melanggar tata ruang Kota Malang, menurut
Perda Nomor 7 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kawasan
tersebut berfungsi sebagai kawasan pendidikan. Namun kenyataannya kawasan
tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan perdagangan dan jasa dengan
didirikannya Matos
2. Apartemen
Apartemen yang berdiri di Jalan Sukarno-Hatta No. 2, Kota Malang tersebut
melanggar Perda Nomor 7 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) terkait sempadan sungai. Bangunan yang memiliki 15 lantai tersebut
berdiri di sempadan sungai Brantas.
3. RSAUB
Rumah sakit yang proses pembangunan dimulai pada pertengahan 2009 juga
melanggar Perda Nomor 7 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW). Bangunan yang berada di kawasan pemukiman tersebut pada mulanya
direncanakan akan didirikan pusat perbelanjaan, namun pada faktanya
dimanfaatkan sebagai kawasan fasilitas umum, yaitu Rumah Sakit Akademi
Universitas Brawijaya (RSAUB).
4. Ijen Nirwana Residence
Kawasan perumahan yang berdiri pada pertengahan 2007 tersebut juga
melanggar Perda Nomor 7 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW). Karena kawasan tesebut pada mulanya terdapat hutan Kota yang
berfungsi sebagai ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Malang. Kini kawasan
yang sebelumnya berfungsi sebagai hutan Kota tersebut telah disulap menjadi
kawasan pemukiman dengan berdirinya Ijen Nirwana Residence.
Pelanggaran-pelanggaran tata ruang di atas sebenarnya tidak perlu terjadi
apabila ada upaya penegakan hukum terhadap pihak-pihak terkait yang
melanggar tata ruang benar-benar diterapkan. Upaya penegakan hukum yang
diterapkan dibedakan menjadi 3, yaitu :
1. Sarana Hukum Administrasi
a. Pengawasan
Pengawasan bangunan dilakukan oleh dua instansi, yaitu :
1) Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan Dan Pengawas Bangunan (DPU)
2) Satuan Polisi Pamong praja (Satpol PP)
Pengawasan bangunan di Kota Malang terjadi apabila ada pelapor yang
mengadukan adanya terjadi pelanggaran tata ruang. Sedangkan menurut pasal
55 ayat (2) UU Nomor 26 Tahun 2007, pengawasan tersebut terdiri atas
tindakan pemantauan, evaluasi dan pelaporan. Jadi tidak hanya menunggu
laporan dari masyaraka yang merasa dirugikan atas pelanggaran tata ruang
tersebut.
b. Sanksi Administrasi
Sanksi administrasi yang dikenai sesuai dengan pasal 63 Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah :
1) Peringatan tertulis
2) Penghentian sementara kegiatan
3) Penghentian sementara pelayanan umum
4) Penutupan lokasi
5) Pencabutan izin
6) Pembatalan izin
7) Pembongkaran bangunan;
8) Pemulihan fungsi ruang
9) Denda administratif.
Dari sekian banyak sanksi administrasi yang disebutkan di pasal 63 UU Nomor
26 Tahun 2007, di Kota Malang sendiri masih belum dilaksanakan dengan
maksimal atau mungkin belum menimbulkan efek jera bagi pemilik bangunan.
2. Sarana Hukum Perdata
Penegakan hukum perdata diatur dalam pasal 66 dan 67 Undang- Undang Nomor
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Sarana Hukum Perdata diajuka apabila
terdapat masyarakat atau pihak yang merasa dirugikan terutama dari segi
materi akibat penyalahgunaan pemanfaatan ruang. Sarana Hukum Perdata yang
dimaksud adalah berupa gugatan perdata yang diajukan ke pengadilan. Namun
sebelum diajukan ke pengadilan, diupayakan musyawarah untuk mufakat
terlebih dulu.
3. Sarana Hukum Pidana
a. Penyidikan
Selain upaya pengawasan dan pengenaan sanksi administrasi, juga ada proses
atau upaya penyidikan. Penyidikan adalah serangkaian tindakan mengumpulkan
bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang
terjadi dan menemukan tersangkanya. Seperti pada umumnya, setiap terjadi
suatu pelanggaran maka pasti ada penyidikan sebelum terlaksananya ketentuan
pidana. Begitu juga dalam hal penerbitan IMB yang melanggar tata ruang,
sebelum mengetahui benar adanya terjadi pelanggaran tata ruang dan
diterapkannya ketentuan pidana, maka perlu diadakannya pemeriksaan kepada
pihak-pihak yang terkait dan pengumpulan barang bukti. Seperti yang
tercantum di dalam pasal 68 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang.
b. Ketentuan Pidana
Bagi orang yang melanggar tata ruang atau RTRW yang telah ditetapkan, maka
sanksi di jelaskan menurut pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan ruang. Sedangkan bagi pejabat yang berwenang, yang
terbukti menyalahgunakan wewenangnya dengan mengeluarkan IMB yang tidak
sesuai/melanggar tata ruang yang ada, maka menurut pasal 73. Sarana Hukum
Pidana ditujukan kepada dua pihak, yaitu :
1) Orang yang mengajukan/pemohon (investor atau pengusahaan
2) Pejabat yang berwenang
Bagi orang yang melanggar, ketentuannya diatur pada pasal 69 ayat (1) UU
Nomor 26 Tahun 2007. Sedangkan bagi pejabat tercantum di dalam pasal 73,
Namun permasalahannya kembali lagi adalah dari segi implementasinya. UU
nomor 26 tahun 2007 dan Perda Nomor 4 Tahun 2011 seolah-olah hanya
merupakan formalitas saja jika ditinjau dari segi penegakan hukumnya,
khususnya dari segi penegakan ketentuan pidana terhadap pelanggaran tata
ruang. Karena bangunan-bangunan di Kota Malang yang memiliki izin atau
tidak dan melanggar tata ruang, tidak ada upaya yang sungguh-sungguh dalam
penegakan hukum dari pejabat yang berwenang, mulai dari upaya
administratif, perdata maupun pidana. Faktanya adalah banyak bangunan yang
melanggar tata ruang dan memiliki IMB namun tidak ada upaya penegakan hukum
pidana yang dikenakan, baik bagi orang si pemilik bangunan yang melanggar
tata ruang maupun bagi pejabat yang berwenang yang menerbitkan izin yang
tidak sesuai dengan RTRW.
KESIMPULAN
Kota yang selalu berkembang baik secara alamiah maupun melalui proses
perencanaan dan perancangan, dihadapkan pada permasalahan tidak tercapainya
kondisi "ideal” akan tuntuntan kebutuhan tujuan pembangunan tersebut. ).
Oleh karena itu, pembangunan menjadi hal yang sangat menentukan dalam
keberhasilan/kegagalan "intervensi fisik” pembangunan kota. Seperti halnya
pembangunan yang dilakukan secara terus-menerus di Kota Malang, Jawa Timur.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Malang terkait pemberian
izin berdirinya apartemen menimbulkan banyak permasalahan, baik
permasalahan hukum, permasalahan lingkungan dan permasalahan sosial. Lokasi
berdirinya apartemen yang terletak di tepi/sempadan Sungai Brantas
menjadikan pertanyaan oleh banyak kalangan. Berdasarkan Rencana Tata Ruang
dan Wilayah (RTRW) Kota Malang, lokasi berdirinya apartemen yang dibangun
di wilayah kecamatan Lowokwaru tersebut tidak sesuai.
Pada proses perizinan dan penetapan kebijakan terkait pembangunan
apartement terlihat seolah-olah bahwa terdapat transaksi politik dan
ekonomi antara pihak yaitu pihak pengembang/pengelola apartement dengan
Pemerintah Kota Malang yang pada akhirnya dapat menguntungkan kedua belah
pihak dengan melanggar hukum serta menimbulkan dampak negative terhadap
kehidupan sosial masyarakat dan lingkungan hidup Kota Malang.