Formulir Kontak

 
BAB I
PENDAHULUAN 

ABSTRAK
Dalam Penyelenggaraan Jasa Konstruksi terdapat pihak yang terkait seperti Pihak Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa. Selain itu banyak hal yang harus diperhatikan mulai asas dan tujuan di awal, lalu pengklasifikasian jenis badan usaha konstruksi, persyaratan, tanda pengalaman, sertifikasi baik untuk badan usaha maupun tenaga kerja, penyelesaian sengketa apabila terjadi kegagalan dalam pembangunan hingga sanksi administratif bagi para pelanggarnya.

1.1. LATAR BELAKANG
Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultansi konstruksi dan/atau pekerjaan konstruksi. Sedangkan Pekerjaan Konstruksi dapat dimaknai sebagai keseluruhan atau sebagian kegiataN yang meliputi pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, pembongkaran, dan pembangunan kembali suatu bangunan. Yang di dalam nya terdapat pihak-pihak yang saling terkait seperti Pengguna Jasa (pemilik atau pemberi pekerjaan yang menggunakan layanan Jasa Konstruksi), Penyedia Jasa (pemberi layanan Jasa Konstruksi), serta Sub Penyedia Jasa (pemberi layanan Jasa Konstruksi kepada Penyedia Jasa).
Dimana antar satu dengan yang lain diikat dalam suatu Kontrak Kerja Konstruksi yang isinya berupa keseluruhan dokumen kontrak yang mengatur hubungan hukum antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa Kontruksi.
Dalam hal kegiatan Konstruksi tersebut terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan, diantaranya: Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan Keberlanjutan. Hal tersebut guna untuk menghindari kegagalan bangunan yang dapat berupa keruntuhan bangunan dan/ atau tidak berfungsinya bangunan setelah penyerahan akhir hasil Jasa Konstruksi.
Untuk itu pula setiap Jasa Kontruksi harus dilengkapi dengan Sertifikat Badan Usaha dan perkerjanya memiliki Sertifikasi Kompetensi Kerja
(Sumber : UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi, Pasal 1)


BAB II 

2.1. ASAS DAN TUJUAN

2.1.1. Pasal 2
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi berlandaskan pada asas:
a. Kejujuran dan keadilan;
b. Manfaat;
c. Kesetaraan;
d. Keserasian;
e. Keseimbangan;
f. profesionalitas;
g. kemandirian;
h. Keterbukaan;
i. Kemitraan;
j. Keamanan dan keselamatan;
k. Kebebasan;
l. Pembangunan berkelanjutan; dan
m. Wawasan lingkungan.

2.1.2. Pasal 3
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi bertujuan untuk:
a. Memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan Jasa Konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kukuh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil Jasa Konstruksi yang berkualitas;
b. Mewujudkan ketertiban penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam menjalankan hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. Mewujudkan peningkatan partisipasi masyarakat di bidang Jasa Konstruksi;
d. Menata sistem Jasa Konstruksi yang mampu mewujudkan keselamatan publik dan menciptakan kenyamanan lingkungan terbangun;
e. Menjamin tata kelola penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang baik; dan
f. Menciptakan integrasi nilai tambah dari seluruh tahapan penyelenggaraan Jasa Konstruksi.


2.1.3. USAHA JASA KONSTRUKSI
Struktur Usaha Jasa Konstruksi meliputi:
a. Jenis Usaha Konstruksi, yang di dalamnya dibagi menjadi :
1) Usaha Jasa Konsultansi Konstruksi
Bersifat :
- Umum (arsitektur, rekayasa, rekayasa terpadu, arsitektur lanskap dan perencanaan wilayah) yang memberikan layanan usaha berupa ; pengkajian, perencanaan, perancangan, pengawasan, dan manajemen penyelenggaraan konstruksi.
- Spesialis (konsultasi & pengujian secara ilmiah dan teknis) yang menawarkan layanan usaha berupa : Survei, pengujian teknis, dan analisis.
2) Usaha Pekerjaan Konstruksi
Bersifat :
- Umum (Bangunan gedung & Bangunan Sipil) yang memberikan layanan berupa pembangunan, pemeliharaan, pembongkaran, pembangunan kembali.
- Spesialis (Instalasi, konstruksi khusus, konstruksi pre fabrikasi, penyelesaian bangunan, penyewaan peralatan) yang memberikan layanan berupa pekerjaan bagian tertentu dari bangunan konstruksi atau bentuk fisik lainnya.
3) Usaha Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi
Di klasifikasikan menurut : Bangunan gedung dan bangunan sipil. Yang menawarkan layanan usaha berupa Rancang Bangun, serta perekayasaan, pengadaan, dan pelaksanaan.
b. Bentuk dan Kualifikasi Usaha
Usaha Jasa Konstruksi dapat berbentuk usaha perseorangan ataupun badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.
Dimana mereka dikualifikasikan kembali ke dalam beberapa kelompok yaitu :
a. Kecil
b. Menengah
c. Besar
Untuk usaha perseorangan, hanya dapat menyelenggarakan Jasa Konstruksi pada segmen pasar yang : berisiko kecil; berteknologi sederhana; berbiaya kecil. Serta, hanya dapat menyelenggarakan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahliannya.
Untuk badan usaha kualifikasi menegah maka hanya dapat menyelenggarakan Jasa Konstruksi pada segmen pasar yang : berisiko sedang, berteknologi madya, berbiaya sedang.
Badan usaha Jasa Konstruksi kualifikasi besar hanya dapat menyelenggarakan Jasa Konstruksi pada segmen pasar yang : berisiko besar, berteknologi tinggi, berbiaya besar.
Dengan penetapan kualifikasi usaha dilaksanakan melalui penilaian terhadap :
a. penjualan tahunan;
b. kemampuan keuangan;
c. ketersediaan tenaga kerja konstruksi; dan
d. kemampuan dalam penyediaan peralatan konstruksi.
Dimana kualifikasi usaha tersebut menentukan batasan kemampuan usaha dan segmentasi pasar usaha Jasa Konstruksi.

2.1.4. PERSYARATAN USAHA DAN JASA KONSTRUKSI
(1) Setiap usaha perseorangan wajib memiliki Tanda Daftar Usaha Perseorangan, sedangkan setiap badan usaha wajib memiliki Izin Usaha yang dapat diperoleh dari Pemerintah Daerah kabupaten / kota kepada usaha orang perseorangan yang berdomisili di wilayahnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap badan usaha yang mengerjakan Jasa Konstruksi wajib pula memiliki Sertifikat Badan Usaha yang diterbitkan melalui suatu proses sertifikasi dan registrasi oleh Menteri. Pemohon dapat mengajukan permohonan kepada Menteri melalui lembaga Sertifikasi Badan Usaha yang dibentuk oleh asosiasi badan usaha terakreditasi. Pada Sertifikat Badan Usaha memuat: jenis usaha, sifat usaha, klasifikasi usaha, kualifikasi usaha.

2.1.5. TANDA DAFTAR PENGALAMAN
Untuk mendapatkan pengakuan pengalaman usaha, setiap badan usaha Jasa Konstruksi kualifikasi menengah dan besar harus melakukan registrasi pengalaman kepada Menteri yang dibuktikan dengan tanda daftar pengalaman yang diantaranya memuat : nama paket pekerjaan; Pengguna Jasa; tahun pelaksanaan pekerjaan; nilai pekerjaan; dan kinerja Penyedia Jasa.
Pengalaman yang diregistrasi tersebut merupakan pengalaman menyelenggarakan Jasa Konstruksi yang sudah melalui proses serah terima.

2.1.6. PENGEMBANGAN USAHA BERKELANJUTAN
Setiap badan usaha Jasa Konstruksi harus melakukan pengembangan usaha berkelanjutan yang bertujuan untuk : meningkatkan tata kelola usaha yang baik, dan memiliki tanggung jawab profesional termasuk tanggung jawab badan usaha terhadap masyarakat.

2.1.7. PEMILIHAN PENYEDIA JASA
Pemilihan Penyedia Jasa yang menggunakan sumber pembiayaan dari keuangan Negara dilakukan dengan cara tender atau seleksi, pengadaan secara elektronik, penunjukan langsung, dan pengadaan langsung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Tender atau seleksi dapat dilakukan melalui prakualifikasi, pasca kualifikasi, dan tender cepat.
- Penunjukan langsung dapat dilakukan dalam hal :
a. penanganan darurat untuk keamanan dan keselamatan masyarakat;
b. pekerjaan yang kompleks yang hanya dapat dilaksanakan oleh Penyedia Jasa yang sangat terbatas atau hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak;
c. pekerjaan yang perlu dirahasiakan yang menyangkut keamanan dan keselamatan negara;
d. pekerjaan yang berskala kecil
e. kondisi tertentu.

2.1.8. KONTRAK KERJA KONSTRUKSI
Pengaturan hubungan kerja antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa harus dituangkan dalam Kontrak Kerja Konstruksi yang dimana bentuk kontrak dapat mengikuti perkembangan kebutuhan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kontrak Kerja Konstruksi paling sedikit harus mencakup uraian mengenai:
a. para pihak, memuat secara jelas identitas para pihak;
b. rumusan pekerjaan, memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan, harga satuan, lumsum, dan batasan waktu pelaksanaan;
c. masa pertanggungan, memuat tentang jangka waktu pelaksanaan dan pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab Penyedia Jasa;
d. hak dan kewajiban yang setara, memuat hak Pengguna Jasa untuk memperoleh hasil Jasa Konstruksi dan kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang diperjanjikan, serta hak Penyedia Jasa untuk memperoleh informasi dan imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan layanan Jasa Konstruksi;
e. penggunaan tenaga kerja konstruksi, memuat kewajiban mempekerjakan tenaga kerja konstruksi bersertifikat;
f. cara pembayaran, memuat ketentuan tentang kewajiban Pengguna Jasa dalam melakukan pembayaran hasil layanan Jasa Konstruksi, termasuk di dalamnya jaminan atas pembayaran;
g. wanprestasi, memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan;
h. penyelesaian perselisihan, memuat ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan;
i. pemutusan Kontrak Kerja Konstruksi, memuat ketentuan tentang pemutusan Kontrak Kerja Konstruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak;
j. keadaan memaksa, memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak;
k. Kegagalan Bangunan, memuat ketentuan tentang kewajiban Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa atas Kegagalan Bangunan dan jangka waktu pertanggungjawaban Kegagalan Bangunan;
l. pelindungan pekerja, memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial;
m. pelindungan terhadap pihak ketiga selain para pihak dan pekerja, memuat kewajiban para pihak dalam hal terjadi suatu peristiwa yang menimbulkan kerugian atau menyebabkan kecelakaan dan/atau kematian;
n. aspek lingkungan, memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan ketentuan tentang lingkungan;
o. jaminan atas risiko yang timbul dan tanggung jawab hukum kepada pihak lain dalam pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi atau akibat dari Kegagalan Bangunan;
p. pilihan penyelesaian sengketa konstruksi.
Selain itu dapat memuat kesepakatan para pihak tentang pemberian insentif.
Kontrak Kerja Konstruksi :
a. Untuk Layanan jasa perencanaan harus memuat ketentuan tentang hak kekayaan intelektual.
b. Untuk Kegiatan pelaksanaan layanan Jasa Konstruksi, dapat memuat ketentuan tentang Subpenyedia Jasa serta pemasok bahan, komponen bangunan, dan/atau peralatan yang harus memenuhi standar yang berlaku; dan
c. yang dilakukan dengan pihak asing, memuat kewajiban alih teknologi.

2.1.9. PEMBIAYAAN JASA KONSTRUKSI
Pengguna Jasa bertanggung jawab atas biaya Jasa Konstruksi sesuai dengan kesepakatan dalam Kontrak Kerja Konstruksi. Biaya Jasa Konstruksi dapat bersumber dari dana Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, badan usaha, dan/atau masyarakat.
Tanggung jawab atas biaya Jasa Konstruksi dibuktikan dengan:
a. kemampuan membayar (dapat dibuktikan dengan dokumen dari lembaga perbankan dan/atau lembaga keuangan bukan bank, dokumen ketersediaan anggaran, atau dokumen lain yang disepakati dalam Kontrak Kerja Konstruksi).
b. komitmen atas pengusahaan produk Jasa Konstruksi (didukung dengan jaminan melalui perjanjian kerja sama).
Dalam hal tanggung jawab atas biaya Jasa Konstruksi dibuktikan dengan kemampuan membayar, Pengguna Jasa wajib melaksanakan pembayaran atas penyerahan hasil pekerjaan Penyedia Jasa secara tepat jumlah dan tepat waktu. Pengguna Jasa yang tidak menjamin ketersediaan biaya dan tidak melaksanakan pembayaran atas penyerahan hasil pekerjaan Penyedia Jasa secara tepat jumlah dan tepat waktu dapat dikenai ganti kerugian sesuai dengan kesepakatan dalam Kontrak Kerja Konstruksi.
Dalam hal tanggung jawab atas layanan Jasa Konstruksi yang dilakukan melalui komitmen atas pengusahaan produk Jasa Konstruksi, Penyedia Jasa harus mengetahui risiko mekanisme komitmen atas pengusahaan produk Jasa Konstruksi dan memastikan fungsionalitas produk sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam pemilihan Penyedia Jasa, Penyedia Jasa tersebut haruslah menyerahkan jaminan kepada Pengguna Jasa untuk memenuhi kewajiban sebagaimana dipersyaratkan dalam dokumen pemilihan Penyedia Jasa. Jaminan tersebut terdiri atas :
a. jaminan penawaran;
b. jaminan pelaksanaan;
c. jaminan uang muka;
d. jaminan pemeliharaan;
e. jaminan sanggah banding.
Jaminan tersebut harus dapat dicairkan tanpa syarat sebesar nilai yang dijaminkan dan dalam batas waktu tertentu setelah pernyataan Pengguna Jasa atas wanprestasi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa.
Jaminan dapat dikeluarkan oleh lembaga perbankan, perusahaan asuransi, dan perusahaan penjaminan dalam bentuk bank garansi dan perjanjian terikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.1.10. KEAMANAN, KESELAMATAN, KESEHATAN, DAN KEBERLANJUTAN KONSTRUKSI
Dalam setiap penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa wajib memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan.
Sehubung dengan hal tersebut maka Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa harus memberikan pengesahan atau persetujuan atas:
a. hasil pengkajian, perencanaan, dan/atau perancangan;
b. rencana teknis proses pembangunan, pemeliharaan, pembongkaran, dan/atau pembangunan kembali;
c. pelaksanaan suatu proses pembangunan, pemeliharaan, pembongkaran, dan/atau pembangunan kembali;
d. penggunaan material, peralatan dan/atau teknologi;
e. hasil layanan Jasa Konstruksi.
Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan Keberlanjutan tersebut meliputi:
a. standar mutu bahan;
b. standar mutu peralatan;
c. standar keselamatan dan kesehatan kerja;
d. standar prosedur pelaksanaan Jasa Konstruksi;
e. standar mutu hasil pelaksanaan Jasa Konstruksi;
f. standar operasi dan pemeliharaan;
g. pedoman pelindungan sosial tenaga kerja dalam pelaksanaan Jasa Konstruksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
h. standar pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Standar tersebut diatur oleh menteri teknis terkait sesuai dengan kewenangannya. Dalam hal ini mentri harus memperhatikan kondisi geografis yang rawan gempa dan kenyamanan lingkungan terbangun.


2.1.11. KEGAGALAN BANGUNAN
Dalam hal penyelenggaraan Jasa Konstruksi tidak memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan, Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa dapat menjadi pihak yang bertanggung jawab terhadap Kegagalan Bangunan.
Kegagalan Bangunan tersebut ditetapkan oleh penilai ahli yang diutus Menteri. Menteri harus menetapkan penilai ahli dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya laporan mengenai terjadinya Kegagalan Bangunan.
Penyedia Jasa wajib mengganti atau memperbaiki Kegagalan Bangunan yang disebabkan kesalahan Penyedia Jasa.
- Jangka Waktu dan Pertanggungjawaban Kegagalan Bangunan
Penyedia Jasa wajib bertanggung jawab atas Kegagalan Bangunan dalam jangka waktu yang ditentukan sesuai dengan rencana umur konstruksi.
Dalam hal rencana umur konstruksi lebih dari 10 (sepuluh) tahun, Penyedia Jasa wajib bertanggung jawab atas Kegagalan Bangunan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal penyerahan akhir layanan Jasa Konstruksi.
Pengguna Jasa bertanggung jawab atas Kegagalan Bangunan yang terjadi setelah jangka waktu yang telah ditentukan berdasarkan Kontrak Kerja Konstruksi.
Pengguna Jasa dan/atau pihak lain yang dirugikan akibat Kegagalan Bangunan dapat melaporkan terjadinya suatu Kegagalan Bangunan kepada Menteri.
Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa wajib memberikan ganti kerugian dalam hal terjadi Kegagalan Bangunan


2.1.12. TENAGA KERJA KONSTRUKSI
Tenaga kerja konstruksi diklasifikasikan berdasarkan bidang keilmuan yang terkait Jasa Konstruksi. Kualifikasi tersebut terbagi dalam jabatan:
a. operator;
b. teknisi atau analis; dan
c. ahli
- Pelatihan Tenaga Kerja Konstruksi
Pelatihan tenaga kerja konstruksi diselenggarakan dengan metode pelatihan kerja yang relevan, efektif, dan efisien sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja.
- Sertifikasi Kompetensi Kerja
Setiap tenaga kerja konstruksi yang bekerja di bidang Jasa Konstruksi wajib memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja. Setiap Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa wajib mempekerjakan tenaga kerja konstruksi yang memiliki Sertifikat Kompetensi Kerjayang dapat diperoleh apabila pekerja telah meregistrasikan dirinya ke lembaga sertifikasi profesi
- Upah Tenaga Kerja Konstruksi
Setiap tenaga kerja konstruksi yang memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja berhak atas imbalan yang layak atas layanan jasa yang diberikan.
- Tanggung Jawab Profesi
Tenaga kerja konstruksi yang memberikan layanan Jasa Konstruksi harus bertanggung jawab secara profesional terhadap hasil pekerjaannya. Pertanggungjawaban secara profesional terhadap hasil layanan Jasa Konstruksi dapat dilaksanakan melalui mekanisme penjaminan

2.1.13. PEMBINAAN
Pembinaan Jasa Konstruksi yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat diselenggarakan melalui:
a. penetapan kebijakan pengembangan Jasa Konstruksi nasional;
b. penyelenggaraan kebijakan pengembangan Jasa Konstruksi yang bersifat strategis, lintas negara, lintas provinsi, dan/atau berdampak pada kepentingan nasional;
c. pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan kebijakan pengembangan Jasa Konstruksi nasional;
d. pengembangan kerja sama dengan Pemerintah Daerah provinsi dalam menyelenggarakan kewenangan
e. dukungan kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.

2.1.14. PENYELESAIAN SENGKETA
Sengketa yang terjadi dalam Kontrak Kerja Konstruksi diselesaikan dengan prinsip dasar musyawarah untuk mencapai kemufakatan. Bila tidak dapat mencapai suatu kemufakatan, para pihak menempuh tahapan upaya penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi.
Dalam hal upaya penyelesaian sengketa tidak tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi, para pihak yang bersengketa membuat suatu persetujuan tertulis mengenai tata cara penyelesaian sengketa yang akan dipilih. Tahapan tersebut meliputi:
a. mediasi;
b. konsiliasi;
c. arbitrase.
Selain upaya penyelesaian sengketa tersebut, para pihak dapat membentuk dewan sengketa yang pemilihan keanggotaan dewannya dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalitas dan tidak menjadi bagian dari salah satu pihak.

2.1.15. SANKSI ADMINISTRATIF
Setiap usaha orang perseorangan yang tidak memiliki Tanda Daftar Usaha Perseorangan / Izin Usaha / Sertifikat Badan Usaha dapat dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif; dan/atau
c. penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi / pencantuman dalam daftar hitam.


BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dalam Penyelenggaraan Jasa Konstruksi terdapat pihak yang terkait seperti Pihak Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa. Selain itu banyak hal yang harus diperhatikan mulai asas dan tujuan di awal, lalu pengklasifikasian jenis badan usaha konstruksi, persyaratan, standarisasi keselamatan, tanda pengalaman, sertifikasi baik untuk badan usaha maupun tenaga kerja, penyelesaian sengketa apabila terjadi kegagalan dalam pembangunan hingga sanksi administratif bagi para pelanggarnya.
Undang-undang ini dapat menjadi payung hukum bagi siapa saja yang memiliki keraguan akan keyakinannya untuk memulai sebuah kegiatan berupa Jasa Konstruksi atau bahkan sedang memiliki masalah seputar kegiatan Jasa Konstruksi.

Total comment

Author

Yola Safitri
ABSTRAKSI
Kota yang selalu berkembang baik secara alamiah maupun melalui proses perencanaan dan perancangan, dihadapkan pada permasalahan tidak tercapainya kondisi "ideal” akan tuntuntan kebutuhan tujuan pembangunan tersebut. Oleh karena itu, pembangunan menjadi hal yang sangat menentukan dalam keberhasilan/kegagalan "intervensi fisik” pembangunan kota.
Terdapat pengecualian prosedur melalui mekanisme BKPRD (Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah) yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah. Namun penerbitan IMB yang tidak sesuai dengan RTRW ternyata tidak hanya berasal dari pengajuan permohonan BKPRD saja, tetapi juga ada yang melalui cara lain, yaitu melalui jalur cepat dengan memberikan uang terimakasih maupun sejenisnya.
Kata-kunci : IMB, tata ruang. 


PENDAHULUAN
Izin Mendirikan Bangunan atau biasa dikenal dengan IMB adalah perizinan yang diberikan oleh Kepala Daerah kepada pemilik bangunan untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku. IMB merupakan salah satu produk hukum untuk mewujudkan tatanan tertentu sehingga tercipta ketertiban, keamanan, keselamatan, kenyamanan, sekaligus kepastian hukum.
Tata ruang atau dalam bahasa Inggrisnya spatial plan adalah wujud struktur ruang dan pola ruang disusun secara nasional, regional dan lokal. Secara nasional disebut Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, yang dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tersebut perlu dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRWK).
Fungsi bangunan sebagai tempat aktvitas manusia, mulai dari aktivitas perekonomian, kebudayaan, sosial, dan pendidikan terkait dengan fungsi pemerintah daerah sebagai “ Agent of Development, Agent of Change, Agent of Regulation”. Bangunan gedung merupakan salah satu bentuk fisik pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, dalam pengaturan bangunan gedung tetap mengacu pada peraturan penataan ruang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.



HUKUM PRANATA PEMBANGUNAN
PENERBITAN IMB YANG MELANGGAR TATA RUANG
(Kajian Tentang Implementasi Perda RTRW Kota Malang Terhadap Penerbitan IMB yang Melanggar Tata Ruang)
Tanah merupakan bahan primer bagi berlangsungnya suatu pembangunan. Di mana pembangunan sebagai suatu upaya untuk menciptakan atau mengembangkan wilayah menjadi lingkungan yang nyaman, baik untuk kepentingan ekonomi, sosial-budaya (tempat hidup komunitas kota). Kota yang selalu berkembang baik secara alamiah maupun melalui proses perencanaan dan perancangan, dihadapkan pada permasalahan tidak tercapainya kondisi "ideal” akan tuntuntan kebutuhan tujuan pembangunan tersebut. Ada tiga orientasi pembangunan yang seharusnya diperhatikan dalam melakukan proses pembangunan, yakni; orientasi pada pengembangan fisik (development orientation); orientasi pada komunitas (community orientation) dan orientasi pada konservasi (conservation orientation). Oleh karena itu, pembangunan menjadi hal yang sangat menentukan dalam keberhasilan/kegagalan "intervensi fisik” pembangunan kota.
Seperti halnya pembangunan yang dilakukan secara terus-menerus di Kota Malang, Jawa Timur. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya bangunan seperti mall, ruko, perumahan dan lain-lain. Salah satu contohnya yaitu pembangunan apartemen pertama di Kota Malang yang terletak di Jalan Soekarno Hatta No.2 Malang, tepatnya di tepi jembatan Soekarno Hatta, di tepi sungai Brantas dan berhadapan dengan Politeknik Negeri Malang. Softlaunching apartement ini di lakukan pada 9 Desember 2009 padahal IMB dikeluarkan pada Juni 2010. Pembangunan apartement tersebut menimbulkan banyak dampak negatif, selain mengurangi Lahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) pembangunan apartment tersebut seharusnya tidak boleh dilakukan lantaran lokasinya yang berada di tepi/sempadan sungai.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Malang terkait pemberian izin berdirinya apartemen menimbulkan banyak permasalahan, baik permasalahan hukum, permasalahan lingkungan dan permasalahan sosial. Lokasi berdirinya apartemen yang terletak di tepi/sempadan Sungai Brantas menjadikan pertanyaan oleh banyak kalangan. Berdasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Malang, lokasi berdirinya apartemen yang dibangun di wilayah kecamatan Lowokwaru tersebut tidak sesuai.
Pada saat awal didirikannya apartemen, terjadi pelanggaran yang dimana pada saat itu masih berlaku Perda Nomor 7 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Malang tahun 2001-2011.
Pada proses perizinan dan penetapan kebijakan terkait pembangunan apartement terlihat seolah-olah bahwa terdapat transaksi politik dan ekonomi antara pihak yaitu pihak pengembang/pengelola apartement dengan Pemerintah Kota Malang yang pada akhirnya dapat menguntungkan kedua belah pihak dengan melanggar hukum serta menimbulkan dampak negative terhadap kehidupan sosial masyarakat dan lingkungan hidup Kota Malang.
Selain apartemen, masih ada bangunan-bangunan seperti Malang Town Square (Matos), Rumah Sakit Akademi Universitas Brawijaya (RSAUB) dan Ijen Nirwana Residence yang melanggar Perda Nomor 7 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Malang. Kini Kota Malang menggunakan Perda Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang untuk mengatur tata ruang Kota Malang. Walaupun dengan adanya Perda baru terkait penataan ruang Kota Malang, tidak ada jaminan bahwa tidak terjadi pelanggaran terkait penataan ruang dan fungsi lahan, yaitu dimana tidak ada kesesuaian dan sinkronisasi antara fakta di lapangan dengan apa yang direncanakan di dalam Perda Nomor 4 Tahun 2011.
Tidak hanya itu, terdapat kejanggalan terkait terbentuknya Perda Nomor 4 Tahun 2011. Salah satu contoh adalah Perda yang diundangkan pada tanggal 7 Maret 2011 terlihat melunak dan menyesuaikan atas pelanggaranpelanggaran yang terjadi pada saat berlakunya Perda Nomor 7 Tahun 2001. Dari sini kita bisa menilai bahwa sifat tegas, mengikat dan memaksa dari sebuah peraturan daerah tidak terlihat sama sekali. Padahal, terdapat banyak sekali bangunan-bangunan di Kota Malang yang melanggar atau tidak sesuai dari segi penataan ruang dan dari segi perubahan perencanaan tata ruang yang dituangkan di dalam perda. Padahal sudah jelas bahwa pelanggaran di dalam penataan ruang memiliki dampak negatif bagi aspek lingkungan, sosial-budaya, ekonomi dan lain-lain. Namun entah dari dan bagaimana bangunan-bangunan yang melanggar tata ruang tersebut mendapatkan IMB atau dapat berdiri dengan kokoh sekarang ini.
Menurut Pasal 73 ayat (9) Perda Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang dinyatakan : “Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi akibat adanya perubahan rencana tata ruang wilayah dapat dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan memberikan ganti kerugian yang layak.” Sanksi-sanksi yang diancamkan pun baik sanksi administrasi maupun pidana seolah-olah hanya berupa ancaman yang tidak ada realisasinya. Hal tersebut dapat terlihat bahwa banyak bangunan yang melanggar Perda Nomor 7 Tahun 2001 tentang RTRW yang berlaku pada saat itu berdiri atau mendapatkan IMB.
Dengan kata lain, baik Perda Nomor 1 Tahun 2001 maupun Perda Nomor 4 Tahun 2011 seolah- olah hanya sebagai formalitas tertulis saja yang tidak begitu dipedulikan eksistensinya. Walaupun dengan dikeluarkannya Perda Nomor 4 Tahun 2011, masih belum terlihat upaya-upaya dan keseriusan dari pemerintah untuk menerapkan perda tersebut dengan baik.
Perbandingan antara kondisi dan keadaan Kota Malang secara fakta dengan kedua pasal di atas, maka dapat dilihat bahwa kondisi dan keadaan Kota Malang masih jauh dari harapan, yaitu sesuai dengan visi dan fungsi penataan ruang Kota Malang menurut Perda Nomor 4 Tahun 2011. Walaupun terkesan masih terlau dini untuk membicarakan tentang efektivitas Perda tersebut lantaran masih terbilang baru dan masa berlakunya masih panjang yaitu mulai dari tahun 2010-2030, namun tanda-tanda keseriusan dari pemerintah untuk mengoptimalisasikan Perda Nomor 4 Tahun 2011 belum tampak di sini.
Visi dan fungsi penataan ruang Kota Malang di atas tidak akan terlaksana dengan baik apabila masih banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran penataan ruang yang terjadi di Kota Malang. Terlabih lagi pelanggaran penataan ruang terkait pemberian izin mendirikan bangunan (IMB) yang sangat banyak terjadi di Kota Malang.
Jadi, setiap subjek hukum baik orang maupun badan hukum perdata tidak diperkanan atau diberi izin untuk mendirikan bangunan atau menggunakan tanahnya jika tidak sesuai dengan apa yang telah ditentukan peruntukannya dalam rencana tata ruang. Namun fakta yang ada di Kota Malang adalah masih ada orang ataupun badan hokum perdata memperoleh izin mendirikan bangunan (IMB) atau memiliki bangunan, tetapi melanggar Perda kota Malang Nomor 4 Tahun 2011 tentang RTRW.

Rencana Tata Ruang Wilayah
Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Undang – Undang no.24 Tahun 1992, mengatur tentang tentang penataan ruang untuk mewujudkan pola struktural dan pola pemanfaatan ruang dengan cara perencanaan yang matang. Dengan tujuan pemanfaatan secara terpadu dan berkelanjutan. Undang – undang ini juga memberikan hak dalam mengelola sebuah ruang dan mendapatkan penggantian akibat dari pelaksanaan kegiatan pembangunan. Penataan ruang juga di atur dalam setiap peraturan daerah yang tercermin ditata kota. Kesimpulan dari Undang – undang no.24 tahun 1992:

Rencana tata ruang wilayah harus memperhatikan:
a. perkembangan lingkungan strategis (global, regional, nasional);
b. upaya pemerataan pembangunan;
c. keselarasan pembangunan nasional dan daerah;
d. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
e. rencana tata ruang yang terkait dengan wilayah perencanaan (rencana tata ruang

Terkait dengan lingkungan hidup:
a. ketentuan agar alokasi kawasan hutan dalam satu daerah aliran sungai (DAS) sekurang-kurangnya 30% (tigapuluh persen) dari luas DAS dengan distribusi disesuaikan dengan kondisi ekosistem DAS;
b. ketentuan agar alokasi ruang terbuka hijau (RTH) di kawasan perkotaan sekurangkurangnya 30% (tigapuluh persen) dari luas kawasan perkotaan, di mana 2/3nya adalah RTH publik dengan distribusi disesuaikan dengan sebaran penduduk.

Hak-hak masyarakat dalam tata ruang adalah:
a. hak untuk mengetahui rencana tata ruang
b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat dari penataan ruang;
c. menerima penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;
d. mengajukan keberatan kepada pejabat yang berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya;
e. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat yang berwenang; dan
f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.

Kewajiban masyarakat dalam tata ruang:
a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundangundangan dinyatakan sebagia milik umum.

Izin Mendirikan Bangunan ( IMB )
Izin adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dakam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan peraturan perundangundangan. Izin Mendirikan Bangunan Gedung (IMB) adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Kota kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis.

Dasar Hukum IMB
1. Perda Tingkat I Bali No. 2/3/4/PD/DPRD/1974, tentang : Tata ruang untuk Pembangunan Propinsi Daerah Tingkat I Bali.
2. Perda Tingkat II Badung No. 6 Tahun 1977 tentang Uang Ijin Bangun bangunan.
3. Perda Tingkat II Badung No. 3 Tahun 1992, tentang : Larangan mendirikan Bangun-bangunan di daerah Jalur Hijau.
4. SK. Bupati Tingkat II Badung No. 1094 A Tentang Garis Sempadan Bangunan.
5. Perda Tingkat I Bali No. 4 Tahun 1966 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Tingkat I Bali.

Kegunaan Memiliki IMB
1. Tata letak ruang, tata tetak bangunan dan tata lingkungan menjadi teratur dan tertata sesuai dengan ketentuan teknis tata ruang dan tata bangunan sehingga sangat bermanfaat bagi tata lingkungan kehidupan manusia dan alam.
2. Melestarikan Budaya Arsitektur Tradisional Bali.
3. Memiliki kepastian Hukum terhadap bangunan yang dimiliki.
4. Dapat memudahkan dalam pengurusan : Kredit Bank, Ijin Usaha dan dapat meyakinkan pihak-pihak yang memerlukan dalam transaksi jualbeli, sewa-menyewa, dll.
5. Menunjang kelangsungan pembangunan Daerah melalui peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Persyaratan Umum Memohon IMB
Mengisi formulir permohonan IMB yang telah disiapkan dengan kelengkapan sebagai berikut :
1. Foto Copy KTP.
2. Foto Copy sertifikat/akte jual beli/surat keterangan tanah yang sah sesuai ketentuan.
3. Foto Copy pembayaran Pajak PBB terakhir.
4. Surat keterangan penyanding (bila perlu).
5. Gambar rencana bangunan antara lain :
- Gambar situasi
- Gambar rencana tapak
- Gambar rencana denah
- Gambar rencana tampak ( depan, samping )
- Gambar potongan ( memanjang, memendek )
- Gambar struktur/pembesian ( khusus untuk bangunan bertingkat )
6. Permohonan IMB dimasukkan dalam Map berwarna dalam rangkap 2 (dua).

PROSES MEMPEROLEH IMB
1. Permohonan IMB yang sudah lengkap dan benar diterima petugas pada meja pelayanan IMB Dinas Cipta Karya Kabupaten Badung, diserahkan pada petugas pada meja pelayanan IMB.
2. Berkas permohonan IMB yang benar akan dihitung biaya IMB-nya dan diperiksa kelapangan oleh petugas bersama pemilik sesuai dengan jadwal.
3. Setelah Pemeriksaan Lapangan, Permohonan tersebut dapat diproses, bila telah memenuhi syarat-syarat teknis.
4. Waktu penyelesaian IMB adalah 2 s/d 4 hari sejak pelunasan biaya IMB.

Penyebab terjadinya penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) walaupun melanggar tata ruang
Pengendalian dan pemanfaatan tata ruang di Kota Malang mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang kemudian dikhususkan lagi melalui Perda Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang. Orang yang ingin memanfaatkan suatu lahan atau ruang yang ada di Kota Malang harus mengacu pada Perda Nomor 4 Tahun 2011, di mana harus menyesuaikan dengan peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Malang yang sudah ditetapkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA). Setelah mengetahui peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Malang, kemudian mengajukan rencana pembangunan atau pemanfaatan ruang di Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kota Malang untuk memperoleh Advice Planning (AP). Jika seseorang telah memperoleh Advice Planning (AP) yang dikeluarkan oleh DPU Kota Malang, maka orang tersebut harus memperoleh Izin Mendirikan Bangunan (IMB) terlebih dahulu di Badan Pelayanan dan Perizinan Terpadu (BP2T) Kota Malang sebelum melakukan pemanfaatan atau pembangunan di Kota Malang.
Demikian adalah prosedur yang harus di tempuh jika terdapat subyek hukum yang ingin melakukan pembangunan atau pemanfaatan di suatu lahan. Jika ada pemohon yang tidak mematuhi Perda Nomor 4 Tahun 2011 dan prosedur yang sesuai, di mana Ia ingin melakukan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan RTRW Kota Malang, maka DPU Kota Malang dan BP2T Kota Malang wajib menolak permohonan tersebut. Akan tetapi, jika masih tetap terjadi penyalahgunaan atau pelanggaran tata ruang maka dapat diancam sanksi pidana terhadap pihak-pihak yang terkait.
Prosedur pemanfaatan ruang serta sanksi pidana yang diancamkan seolah-olah tidak berlaku di Kota Malang. Karena masih banyak bangunanbangunan di Kota Malang yang lokasinya tidak sesuai dengan RTRW Kota Malang (2010-2030) namun memiliki IMB. Dengan banyaknya bangunan yang lokasinya tidak sesuai dengan RTRW Kota Malang namun memiliki IMB, maka akan banyak menimbulkan dampak negatif dari segi ekonomi, sosial, terutama dari segi lingkungan.
Akan tetapi ada pengecualian melalui mekanisme BKPRD (Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah). BKPRD diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah. Menurut Permendagri Nomor 50 Tahun 2009, dijelaskan bahwa Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah, yang selanjutnya disebut BKPRD adalah badan bersifat ad-hoc yang dibentuk untuk mendukung pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Provinsi dan di Kabupaten/Kota dan mempunyai fungsi membantu pelaksanaan tugas Gubernur dan Bupati/Walikota dalam koordinasi penataan ruang di daerah. Atau dengan kata lain, BKPRD adalah suatu bentuk tim koordinasi bidang penataan ruang dalam rangka menjamin tercapainya tujuan koordinasi penataan ruang yang efektif dan meningkatan peran Pemerintah memfasilitasi Pemerintah Provinsi dalam mengkoordinasikan penataan ruang di daerahnya, terutama untuk pengendalian pemanfaatan ruang.
Susunan keanggotaan BKPRD Provinsi, terdiri atas:
a. Penanggung jawab: Gubernur dan Wakil Gubernur;
b. Ketua : Sekretaris Daerah Provinsi;
c. Sekretaris : Kepala Bappeda Provinsi;
d. Anggota : SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) terkait Penataan ruang yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan daerah.
Dalam hal penerbitan IMB yang melanggar tata ruang, menurut pasal 4 ayat (1) Permendagri Nomor 50 Tahun 2009, salah satu tugas BKPRD adalah mengoordinasikan penanganan dan penyelesaian permasalahan dalam pemanfaatan ruang baik di provinsi maupun di kabupaten/kota, dan memberikan pengarahan serta saran pemecahannya. Jadi, dalam hal ini BKPRD dapat dijadikan suatu pertimbangan dan pengecualian bagi bangunan yang peruntukannya tidak sesuai dengan RTRW yang ada. Sehingga terbitlah IMB terhadap suatu bangunan walaupun tudak sesuaidengan RTRW yang ada.
Mekanisme BKPRD seperti yang di atas bisa terlaksana apabila ada pengajuan dan permohonan dari pemilik tanah atau bangunan tersebut. Terlaksananya rapat BKPRD yang terdiri dari suatu tim yang berasal dari SKPD terkait, Akademisi, DPRD Kota Malang dan lain-lain, bukan berarti pengajuan dan permohonan pasti dikabulkan.12 Lanjut Waskito :
Penerbitan IMB yang tidak sesuai dengan RTRW ternyata tidak hanya berasal dari pengajuan permohonan BKPRD saja, tetapi juga ada yang melalui cara lain, yaitu melalui jalur cepat dengan memberikan uang terimakasih maupun sejenisnya. Syarat-syarat yang tidak mencukupi membuat subyek hukum memaksakan persetujuan izin melalui berbagai cara, dan salah satunya adalah dengan cara pemberian uang terimakasih atau suap. Investor dan pengusaha akan melakukan berbagai macam cara demi memuluskan langkah perizinan di dalam investasinya, termasuk dengan melakukan aksi suapmenyuap. Aksi tersebut ditempuh jika dalam syarat yang diajukan ada yang tidak terpenuhi. Seperti lokasi berada di daerah yang tidak seharusnya mendirikan bangunan tersebut atau dengan kata lain lokasinya melanggar tata ruang.
Hampir disetiap Pemerintahan Kota terdapat oknum-oknum jahil, termasuk dalam hal ini adalah oknum-oknum dari SKPD terkait yang menerima uang terimakasih dari investor atau pengusaha. Tidak hanya menerima, bahkan terkadang oknum yang memiliki status sebagai PNS tersebut malah meminta kepada investor atau pengusaha dengan dalih akan memperlancar dan mempercepat proses perizinan yang diajukan.
Secara aturan, pemberian biaya untuk alasan apa pun yang tidak dibenarkan, dan merupakan suatu pelanggaran. Pemberian uang yang dilakukan oleh investor atau pengusaha kepada oknum-oknum SKPD terkait demi memperlancar proses penerbitan IMB dengan melanggar RTRW merupakan suatu tindak pidana yang melanggar Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Penegakan Hukum Terhadap Penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang Melanggar Tata Ruang
Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidahkaidah/ pandangan nilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, da mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep tentang keadian, kebenaran, kemanfaatan sosial, dan sebagainya. Jadi penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide dan konsepkonsep tersebut menjadi kenyataan. Seperti halnya penegakan hukum terhadap penerbitan izin mendirikan bangunan yang melanggar tata ruang. Dengan tujuan supaya Kota Malang menjadi kota yang sehat dan ramah lingkungan, maka perlu adanya penegakan hukum yang tegas terkait pelanggaran tata ruang tersebut. Sedangkan di Kota Malang ada beberapa bangunan yang melanggar tata ruang namun tidak ada upaya penegakan hukum yang dikenakan terhadap bangunan-bangunan tersebut.
Bangunan-bangunan yang dimaksud antara lain :
1. Malang Town Square (Matos)
Merupakan salah satu pusat perbelanjaan di Kota Malang yang berdiri pada tahun 2005. Bangunan tersebut melanggar tata ruang Kota Malang, menurut Perda Nomor 7 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kawasan tersebut berfungsi sebagai kawasan pendidikan. Namun kenyataannya kawasan tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan perdagangan dan jasa dengan didirikannya Matos
2. Apartemen
Apartemen yang berdiri di Jalan Sukarno-Hatta No. 2, Kota Malang tersebut melanggar Perda Nomor 7 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) terkait sempadan sungai. Bangunan yang memiliki 15 lantai tersebut berdiri di sempadan sungai Brantas.
3. RSAUB
Rumah sakit yang proses pembangunan dimulai pada pertengahan 2009 juga melanggar Perda Nomor 7 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Bangunan yang berada di kawasan pemukiman tersebut pada mulanya direncanakan akan didirikan pusat perbelanjaan, namun pada faktanya dimanfaatkan sebagai kawasan fasilitas umum, yaitu Rumah Sakit Akademi Universitas Brawijaya (RSAUB).
4. Ijen Nirwana Residence
Kawasan perumahan yang berdiri pada pertengahan 2007 tersebut juga melanggar Perda Nomor 7 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Karena kawasan tesebut pada mulanya terdapat hutan Kota yang berfungsi sebagai ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Malang. Kini kawasan yang sebelumnya berfungsi sebagai hutan Kota tersebut telah disulap menjadi kawasan pemukiman dengan berdirinya Ijen Nirwana Residence.
Pelanggaran-pelanggaran tata ruang di atas sebenarnya tidak perlu terjadi apabila ada upaya penegakan hukum terhadap pihak-pihak terkait yang melanggar tata ruang benar-benar diterapkan. Upaya penegakan hukum yang diterapkan dibedakan menjadi 3, yaitu :
1. Sarana Hukum Administrasi
a. Pengawasan
Pengawasan bangunan dilakukan oleh dua instansi, yaitu :
1) Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan Dan Pengawas Bangunan (DPU)
2) Satuan Polisi Pamong praja (Satpol PP)
Pengawasan bangunan di Kota Malang terjadi apabila ada pelapor yang mengadukan adanya terjadi pelanggaran tata ruang. Sedangkan menurut pasal 55 ayat (2) UU Nomor 26 Tahun 2007, pengawasan tersebut terdiri atas tindakan pemantauan, evaluasi dan pelaporan. Jadi tidak hanya menunggu laporan dari masyaraka yang merasa dirugikan atas pelanggaran tata ruang tersebut.
b. Sanksi Administrasi
Sanksi administrasi yang dikenai sesuai dengan pasal 63 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah :
1) Peringatan tertulis
2) Penghentian sementara kegiatan
3) Penghentian sementara pelayanan umum
4) Penutupan lokasi
5) Pencabutan izin
6) Pembatalan izin
7) Pembongkaran bangunan;
8) Pemulihan fungsi ruang
9) Denda administratif.
Dari sekian banyak sanksi administrasi yang disebutkan di pasal 63 UU Nomor 26 Tahun 2007, di Kota Malang sendiri masih belum dilaksanakan dengan maksimal atau mungkin belum menimbulkan efek jera bagi pemilik bangunan.
2. Sarana Hukum Perdata
Penegakan hukum perdata diatur dalam pasal 66 dan 67 Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Sarana Hukum Perdata diajuka apabila terdapat masyarakat atau pihak yang merasa dirugikan terutama dari segi materi akibat penyalahgunaan pemanfaatan ruang. Sarana Hukum Perdata yang dimaksud adalah berupa gugatan perdata yang diajukan ke pengadilan. Namun sebelum diajukan ke pengadilan, diupayakan musyawarah untuk mufakat terlebih dulu.
3. Sarana Hukum Pidana
a. Penyidikan
Selain upaya pengawasan dan pengenaan sanksi administrasi, juga ada proses atau upaya penyidikan. Penyidikan adalah serangkaian tindakan mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya. Seperti pada umumnya, setiap terjadi suatu pelanggaran maka pasti ada penyidikan sebelum terlaksananya ketentuan pidana. Begitu juga dalam hal penerbitan IMB yang melanggar tata ruang, sebelum mengetahui benar adanya terjadi pelanggaran tata ruang dan diterapkannya ketentuan pidana, maka perlu diadakannya pemeriksaan kepada pihak-pihak yang terkait dan pengumpulan barang bukti. Seperti yang tercantum di dalam pasal 68 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
b. Ketentuan Pidana
Bagi orang yang melanggar tata ruang atau RTRW yang telah ditetapkan, maka sanksi di jelaskan menurut pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan ruang. Sedangkan bagi pejabat yang berwenang, yang terbukti menyalahgunakan wewenangnya dengan mengeluarkan IMB yang tidak sesuai/melanggar tata ruang yang ada, maka menurut pasal 73. Sarana Hukum Pidana ditujukan kepada dua pihak, yaitu :
1) Orang yang mengajukan/pemohon (investor atau pengusahaan
2) Pejabat yang berwenang
Bagi orang yang melanggar, ketentuannya diatur pada pasal 69 ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2007. Sedangkan bagi pejabat tercantum di dalam pasal 73, Namun permasalahannya kembali lagi adalah dari segi implementasinya. UU nomor 26 tahun 2007 dan Perda Nomor 4 Tahun 2011 seolah-olah hanya merupakan formalitas saja jika ditinjau dari segi penegakan hukumnya, khususnya dari segi penegakan ketentuan pidana terhadap pelanggaran tata ruang. Karena bangunan-bangunan di Kota Malang yang memiliki izin atau tidak dan melanggar tata ruang, tidak ada upaya yang sungguh-sungguh dalam penegakan hukum dari pejabat yang berwenang, mulai dari upaya administratif, perdata maupun pidana. Faktanya adalah banyak bangunan yang melanggar tata ruang dan memiliki IMB namun tidak ada upaya penegakan hukum pidana yang dikenakan, baik bagi orang si pemilik bangunan yang melanggar tata ruang maupun bagi pejabat yang berwenang yang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan RTRW.

KESIMPULAN
Kota yang selalu berkembang baik secara alamiah maupun melalui proses perencanaan dan perancangan, dihadapkan pada permasalahan tidak tercapainya kondisi "ideal” akan tuntuntan kebutuhan tujuan pembangunan tersebut. ). Oleh karena itu, pembangunan menjadi hal yang sangat menentukan dalam keberhasilan/kegagalan "intervensi fisik” pembangunan kota. Seperti halnya pembangunan yang dilakukan secara terus-menerus di Kota Malang, Jawa Timur.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Malang terkait pemberian izin berdirinya apartemen menimbulkan banyak permasalahan, baik permasalahan hukum, permasalahan lingkungan dan permasalahan sosial. Lokasi berdirinya apartemen yang terletak di tepi/sempadan Sungai Brantas menjadikan pertanyaan oleh banyak kalangan. Berdasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Malang, lokasi berdirinya apartemen yang dibangun di wilayah kecamatan Lowokwaru tersebut tidak sesuai.
Pada proses perizinan dan penetapan kebijakan terkait pembangunan apartement terlihat seolah-olah bahwa terdapat transaksi politik dan ekonomi antara pihak yaitu pihak pengembang/pengelola apartement dengan Pemerintah Kota Malang yang pada akhirnya dapat menguntungkan kedua belah pihak dengan melanggar hukum serta menimbulkan dampak negative terhadap kehidupan sosial masyarakat dan lingkungan hidup Kota Malang.

Total comment

Author

Yola Safitri