Formulir Kontak

 

SKANDAL KEBOCORAN DATA FACEBOOK


Kebocoran data pengguna Facebook jadi perbincangan seantero dunia, tak terkecuali di Indonesia. Ada sekitar 87 juta data pengguna aplikasi media sosial besutan Mark Zuckerberg itu bocor ke pihak ketiga untuk berbagai kepentingan. Di Indonesia, tercatat 1.096.666 data pribadi pemilik akun Facebook yang bocor, menjadikannya urutan ketiga.

Pengamat Teknologi Informasi Teguh Prasetya mengamini data pribadi Facebook yang bocor tersebut dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Mulai dari kepentingan bisnis sampai politik. Pasalnya, data tersebut memuat berbagai informasi pribadi yang dimiliki oleh sang empunya akun. Dari tanggal lahir, jenis kelamin, tempat tinggal, lokasi, kebiasaan, lingkaran pertemanan, riwayat perbincangan, kebutuhan sehari-hari, gaya hidup, tempat yang biasa dikunjungi, profil psikologis, hingga pandangan politik seseorang.
Potensi memanfaatkan penggunaan data tersebut pun beragam, tergantung dari siapa yang memegang data tersebut. Misalnya data tersebut dipegang oleh suatu korporasi. Korporasi dapat dengan mudah menyasar pasar-pasar potensial. Data pribadi tersebut juga bisa disalahgunakan salah satunya adalah pemerasan. Pihak yang memanfaatkan data tersebut bisa tahu latar belakang korbannya sehingga ia dapat dengan mudah melancarkan aksi pemerasan.
Data pribadi pengguna Facebook yang bocor juga berpotensi digunakan untuk kepentingan politik. Hal ini dapat dilihat dari kebocoran data pengguna Facebook di Amerika Serikat. Data pribadi 50 juta pengguna Facebook yang bocor itu dimanfaatkan oleh Cambridge Analytica, sebuah perusahaan konsultan politik yang bermarkas di Inggris, untuk memetakan karakteristik pemilih pada pemilihan presiden AS 2016 yang memenangkan Donald Trump. Cambridge Analytica kemudian mengolah data tersebut dan digunakan oleh kubu Trump untuk kampanye pemenangannya. Berdasarkan hasil olahan data tersebut, kubu Trump kemudian memetakan karakteristik dari para pemilih di AS untuk membuat kampanye-kampanye politik yang efektif guna menjaring suara mereka.
Pemanfaatan kebocoran data pribadi Facebook untuk kepentingan politik seperti di AS itu juga berpotensi besar terjadi di Indonesia yang pada 2019 mendatang menyelenggarakan pesta demokrasi, Pileg dan Pilpres. Data tersebut sangat besar kemungkinannya digunakan di pilpres 2019 mendatang. Apalagi masyarakat Indonesia yang karakteristiknya masih belum betul-betul mementingkan privasinya, menjadi satu celah datanya dimanfaatkan.
Meski pengaruh media sosial, dalam hal ini Facebook, cukup besar dalam kontestasi politik di Indonesia, namun signifikansinya tidak sama dengan di AS. Menurutnya realita di media sosial seringkali bertolak belakang dengan di kehidupan nyata. Contohnya belakangan sentimen masyarakat terhadap pemerintah di media sosial saat ini cenderung negatif. Banyak masyarakat yang cenderung mengkritik pemerintahan era Jokowi. Namun, pada kenyataannya di berbagai lembaga survei elektabilitas Jokowi masih tetap saja tinggi. Dengan demikian pengaruh dari pemanfaatan data Facebook yang bocor untuk mendongkrak elektabilitas di Pilpres 2019 tidak akan sebesar di AS.
Meski kecil, bukan berarti pemanfaatan kebocoran data pengguna Facebook untuk kepentingan Pilpres 2019 ini diabaikan begitu saja. Sebab lembaga sejenis Cambridge Analytica dengan mudah mendapatkan data pribadi pengguna untuk kemudian dijual kepada pihak yang berkepentingan, dalam hal ini capres, seperti yang terjadi di Pilpres AS.
Diketahui Cambridge Analytica sejak 2014 lalu sudah mengembangkan sebuah teknik untuk mendapat data Facebook melalui kuis kepribadian. Tipe kuis ini cukup populer di Facebook dan dikerjakan oleh pihak ketiga, yakni Global Science Research. Data-data pengguna tersebut kemudian dikumpulkan oleh seorang akademisi Universitas Cambridge, Aleksandr Kogan melalui aplikasi survei di Facebook. Hasil survei kemudian digunakan Cambridge Analytica untuk menargetkan pengguna Facebook dengan iklan politik selama kampanye Pilpres AS 2016. Dalam hal Pilpres AS, Cambridge Analytica bekerjasama dengan tim pemenangan Donald Trump. Di akhir pertarungan, Trump berhasil memenangkan kontes pemilu dan terpilih menjadi presiden.
Facebook mengatakan telah menyewa tim forensik digital untuk menyelidiki Cambridge Analytica (CA) setelah kejadian kebocoran data pengguna sebanyak 50 juta. Pada hari Jumat, jelang laporan investigasi yang merinci dari skema penyalahgunaan data tersebut, Facebook mengatakan telah melarang perusahaan dan platform induknya menggunakan aplikasi yang menarik pengguna. Facebook mengatakan bahwa penyelidikan tersebut dimaksudkan untuk memverifikasi klaim dari Cambridge Analytica dan yang lainnya yang mengatakan bahwa data yang dimaksud ternyata telah dihancurkan.
Mantan pegawai dari Cambridge Analytica beberkan bahwa banyak kuis lain yang juga mengoleksi data pengguna. Kuis-kuis ini menggunakan metode yang serupa dengan kuis yang meledakkan skandal kebocoran data pengguna Facebook. Hal ini diungkap oleh Brittany Kaiser, mantan eksekutif Cambridge Analytica. Keterangan ini disampaikan saat memberikan keterangannya di hadapan Parlemen Inggris, pada Selasa tanggal 17 bulan April 2018. Menurutnya, jumlah kuis yang terindikasi memanen data masih dapat bertambah. Salah satunya adalah kuis 'Compass Sex'. Kuis ini merupakan aplikasi pencari jodoh. Namun, Kaiser tidak menjelaskan secara rinci cara kerja dari aplikasi ini. Namun, dia menegaskan aplikasi ini juga memanen data pribadi pengguna. Kaiser juga menduga bahwa data pengguna yang bocor lebih besar dari 87 juta akun secara keseluruhan. Sebab, menurut pengakuannya, perusahaannya membuat banyak kuis serupa.
Christopher Wylie, pengungkap skandal penyalahgunaan data Facebook oleh Cambridge Analytica, menyebut bahwa data pengguna itu bisa saja disimpan di Rusia atau berbagai tempat lainnya. Dilansir oleh Cnet, Facebook mengetahui perihal ini sejak 2015, namun tidak menginformasikannya ke publik. Facebook malah mengimbau agar semya pihak yang terlibat menghancurkan data tersebut. Namun, saat ini laporan menyebut tidak semua data itu dihapus. Ketika ditanya apakah Facebook mampu mengecek berapa orang yang telah mengakses informasi ini, Wylie menyebut kemungkinan data itu telah disalin berkali-kali setelah meninggalkan database Facebook.

Total comment

Author

Yola Safitri